Senin, 20 Agustus 2007

CINCIN


Sinar matahari pagi yang masuk lewat jendala kamar menampar wajahku. Biasanya aku akan mengumpat orang yang tega membuka jendela kamar dengan lebar dan mengusik tidurku yang belum selesai. Namun kali ini berbeda, perbuatannya telah membantuku bangun dari mimpi yang ingin ku akhiri. Mimpi yang kesekian kali tentang kau. Ya, kau..

Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun dan mengatur nafas yang terasa sesak. Setelah hampir dua tahun kita berpisah, kau masih menghantuiku di alam bawah sadarku. Ku lihat kau bersama seorang wanita, dalam mobil kita. Mobil kita bersama yang akhirnya kau beli ketika kita berpisah. Tepat satu bulan sebelum kita menikah di musim bunga.

Sejak dulu, aku sendiri tak pernah mempercayai arti mimpi. Bagiku mimpi hanyalah sebuah pikiran bawah sadar yang keluar ketika kita tidur. Mungkin mimpi ini hanya sebuah kerinduan yang membeku dan dalam. Mimpi ku pagi ini seperti sebuah ketakutanku akan kehilangan mu, meski aku tak pernah mengungkapkan.

Hari ini aku kembali mengingat mu, perjalanan kita. Aku berjalan menghampiri lemari di pojok kamar. Kubuka pelan dan mataku tertumbuk pada kotak biru yang diselimuti debu. Kuraih kotak itu dan meniup debu-debu di atasnya. Perlahan aku membuka kotak itu, seperti membuka kesedihan dan mengoyak hati yang rapuh. Aku masih menguatkan diri, dan mencoba tegar. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk melupakan dan aku masih menyimpan kerinduan padamu. Masih mengusung harapan takkala aku melihat lagi foto-foto kita dan dua buah cincin emas yang dulu bakal mengikat kita.

Kupandangi dua buah cincin yang tersimpan rapi dalam kotak berbentuk hati berwarna merah. Aku ingat, kau membuat desain untuk kita. Desain sederhana yang sangat manis.
“Kenapa tak ada mata nya mas, seperti cincin kawin yang lain?”
“Aku ingin cincin ini polos, tak ada penghalang. Seperti keinginanku pada perjalanan cinta kita. Aku hanya akan menambah aksen buram pada tepinya, agar lebih indah” katamu waktu itu di sebuah toko perhiasan dengan senyum mengembang. Wajahmu saat itu lain dari biasa. Kau terlihat lebih ceria dan bercahaya. Bahkan kau pula yang menawar harga dan menentukan nama yang melingkar di bagian dalam cincin itu.

Kututup kembali kotak berbentuk hati merah itu, dan ku kembalikan ke dalam lemari bersama foto dan kenangan kita. Kali ini aku tak mau ada air mata. Sudah terlalu lama hati ini membeku dan hingga saat ini aku masih menemukanmu sendiri bermain bersama waktu. Kita tak lagi pernah bertemu dan itu sudah cukup bagiku. Meskipun terkadang aku ingin kita bertemu dan kembali…

Air yang membasahi tubuhku dari shower menyejukkan hati ini, meskipun bayangmu kembali hadir. Aku tak ingin berlama-lama mengingat semuanya. Aku merapikan diriku dalam cermin dengan pakaian kerja terbaikku. Sepatu hitam casual dan tas tangan. Aku ingin tambil beda hari ini. Aku akan menghadiri seminar soal mobile marketing di Hotel bintang lima. Undangan itu meluncur ke meja ku sebagai bonus tambahan prestasiku bulan lalu. Angka-angka penjualanku kembali menjadi yang terbaik.

“Semoga aku menemukan pangeranku di sana” batinku tertawa.

Aku nyalakan mesin mobil perlahan dan segera bergabung dengan kemacetan Jakarta. Debu-debu yang berterbangan mengubah langit Jakarta menjadi kelabu. Matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Kepungan kemacetan di depan komdak sudah kulewati dan aku mengambil belokan ke kiri, memasuki parkiran hotel bintang lima. Aku bergegas masuk, sudah terlambat tiga puluh menit.

Ruangan ballroom yang besar terlihat penuh. Suara Hermawan Kartajaya menggema dalam ruangan, meskipun sosoknya di atas podium tak terlihat jelas dari depan pintu. Aku mengambil duduk paling belakang agar tak menarik perhatian. Mencoba menyimak setiap kalimatnya.

Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang terlambat. Seorang lelaki dengan dasi berwarna mencolok berjalan ke arah tempat duduk yang kosong di sebelahku. Dasi warna orange itu terlihat menyala dari kejauhan di atas kemejanya yang putih. Wajahnya masih menunduk mencari jalan. Kemudian mendekat dan hatiku bergemuruh lebih kencang dari biasanya. Bima, ia sudah ada di sebelahku. Ia hanya memandangku tipis dan kaku, sedangkan aku membalasnya dengan senyum biasa. Bima duduk di sebelahku. Kami hanya diam. Tak ada ucapan apa kabar atau selamat datang setelah dua tahun tak bertemu. Hanya aroma menthol dari tubuhnya yang tersisa.

Suara-suara di hatiku lebih kencang terdengar daripada presentasi pak Hermawan. Aku tak tahu dengan Bima. Namun ia duduk diam, memandang ke depan dan seperti serius menyimak.
Kepalaku seperti mau pecah, tak ada satupun kalimat presentasinya yang ku pahami. Konsentrasiku buyar seketika. Ku buka tasku, tampaknya lebih baik aku membaca buku untuk menenangkan diri. Aku menemukan sebuah novel lama, message in a the bottle karangan Nicholas Sparks dalam tas.

“DAMN, kenapa buku ini yang ada dalam tasku” rutukku kecewa.

Kulihat sekilas Bima memandang novel itu, lalu wajahnya dipalingkan lagi ke depan. Pikiranku kembali melayang di saat kita pertama kali bertemu di toko buku.

“Buku itu bagus ya” Seorang laki-laki di sebelahku menanggapi novel yang sedang kupegang di toko buku pada awal musim hujan.
Aku menoleh dan memandangnya, ia tersenyum. “Oh ya, aku belum pernah baca, tapi pernah nonton filmnya” jawabku
“Walaupun aku laki-laki, tapi aku cukup tersentuh dengan surat-surat yang dikirim Garret pada Catherine. Wanita yang sangat dicintainya. Baca deh, lebih bagus dari filmnya”
“Gitu ya”
“Oh ya, nama kamu siapa? Saya Bima, suka baca novel juga?”

Perkenalan pertama dengan Bima bermain lagi dalam benakku. Dada ini rasanya sesak sekali, udara di sekitar seperti berkurang. Aku mengambil nafas panjang perlahan lalu mencoba untuk membacanya, mengacuhkan kenangan itu. Tapi aku tak sanggup. Aku memasukan kembali novel itu dalam tas ku. Kini aku mencoba konsentrasi dengan uraian-uraian panjang dari arah depan.

Bima masih diam. Ia seperti tak pernah mengenalku, seperti tak pernah menjamahku atau tak pernah terbang ke awan ketujuh menikmati indahnya cinta yang pernah tercipta. Bima seperti membeku, dan hawa panas muncul dikedua mataku.

Sekilas kulihat Bima menerima telpon, suaranya lirih. Aku hanya mendengar ia mengatakan “sudah di bawa ke rumah sakit, jangan lupa minum obat” dan terakhir aku mendengar “hati-hati ya” dengan suara penuh senyum. Aku bisa merasakannya lewat suaranya. Suaranya penuh senyum. Suara yang pernah ia berikan padaku.

Dulu, ia selalu melakukannya untukku. Ia selalu menutup pembicaraanya kepada ku dengan kata itu. Mungkin hanya sebuah kata biasa yang bisa diungkapkan semua orang. Namun kata yang keluar dari mulut Bima terasa lain. Kata itu begitu dalam dan takut kehilangan.
Aku menunduk diikuti untaian rambutku yang jatuh, mencoba menghapus jejak air mata di sudut. Bima masih diam dan aku semakin tersiksa. Tersiksa dengan semua bayangan tentang kita.

“Aku lebih suka dicium di keningku” menjawab pertanyaanmu.
“Kenapa kening” wajahmu terlihat bingung sore itu.
“Aku tak tahu, menurutku kecupan di kening itu lebih jujur dan tidak menggunakan hawa nafsu mengebu-gebu. Itu sebuah ungkapan cinta yang tulus, yang ingin menjaga keutuhan selamanya. Meskipun cinta adalah hawa nafsu, namun aku ingin kita bisa mengendalikannya. Seperti avatar mengendalikan air, tanah, api dan udara”
Kau tertawa lebar dan mengacau rambutku. Baru kali ini aku melihatmu tertawa lebar, lepas. Kau lebih tampan dengan tawamu itu, tidak dengan senyum kaku mu atau tawa yang terlalu tipis dan terasa berat. Aku ingin membuatmu seperti ini di tengah beban keluarga yang kau pikul. Aku tahu, sakit ibumu yang menahun membuat mu terus bersedih. Kau memang bertanggung jawab dengan biaya pengobatan ibumu, juga biaya sekolah adikmu. Aku tahu dan menyadarinya penuh, sebagai anak pertama kau sudah sadar sejak kau lahir.

Bayangan wajah ibumu kembali hadir di pelupuk mataku yang terasa semakin panas. Dia sangat menyayangimu dan kau pun begitu. Dia tak pernah menuntut mu berbuat lebih, dia hanya ingin kau bahagia. Dan aku jelas sekali melihatnya di mata ibumu yang tersenyum. Sebutir air mata menetes, mendegar rencana kita untuk menikah. Ibu mu begitu berharap dengan masa depanmu, meskipun ia harus rela kehilangan mu, untuk ku miliki.

Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini, aku sudah bersiap untuk menoleh ke samping kananku dan menyapa mu hangat. Namun semua keinginan itu kembali aku kubur dalam-dalam begitu mataku terpaku pada cincin emas polos yang melingkar di jari telunjuk tangan kananmu. Nyawaku seperti lepas dari tubuh ini, lemas dan tak bertenaga. Kepalaku pening dan perutku seperti bergejolak.

Ku alihkan pandangan kedepan, namun pemandangan terlihat blur dan lebih gelap. Cincin itu, hampir sama dengan design yang pernah kau buat untuk kita. Hanya saja bentuknya lebih lebar dan terkesan norak. Mungkin karena bentuknya atau penilaianku semata.

Aku langsung keluar dari ballroom, masih kulihat Bima memandang kepergianku. Aku menghirup udara segar di luar dan merenggangkan paru-paru yang terasa terjepit. Aku mengambil telepon seluler dari dalam tas dan memencet sebuah nomer.

“Hai Hen, lagi dimana”
“Key, aku lagi di plaza senayan. Ketemu klien, dia pingin suasana lain katanya. Kamu dimana?”
“Wah pas banget Hen, ketemu klien sampai jam brapa?”
“Ya, paling sampai jam dua-an. Knapa Key?”
“Kamu maukan temenin aku nonton setelah itu?”
“Kamu gila Key, siang begini. Kamu gak kerja?”
“Mau gak?”
“Ya udah, aku tunggu di lantai tiga ya”

Telepon terputus, aku matikan telepon genggamku dan menuju parkiran. Aku memacu mobilku ke arah jalan Asia Afrika. Bayangan Bima masih bermain di kepalaku.

“Maaf dik, sepertinya mulai sekarang kita teman aja ya”
Kata-kata Bima meluncur cepat dan menikam hatiku. Punggungku terasa panas dan aku tak bisa bicara. Akhirnya Bima mengucapkan kalimat itu, setelah selama hampir enam bulan ini ia bersikap beda denganku. Tepatnya sejak pertengahan tahun lalu, ketika ia tiba-tiba mengundur niatnya untuk menikah denganku karena ibunya kembali masuk rumah sakit. Ia semakin berbeda. Ia terasa jauh dari hatiku meskipun kita duduk berdekatan.
Aku hanya diam menunduk, mengumpulkan sisa asa. Kalimat-kalimat Bima seperti menari-nari di pelupuk mataku.
“Dik, kamu terlalu sibuk. Seringkali keluar kota, aku sampai harus buat janji sama kamu untuk bertemu. Aku bukan klien kamu dik. Kamu juga sepertinya gak percaya sama aku. Kamu seharusnya tau, klien dan temenku banyak. Kamu harus berubah dik, jangan hanya nonton film kartun, sedikit dewasalah”
“Terus, kenapa kita harus putus? Karena sibuk? Apa aku salah nonton kartun? Aku telpon kamu karena aku ingin tahu keadaanmu, aku sayang sama kamu. Bukan karena aku cemburu dengan teman-temanmu. Kamu gak pernah bilang gak suka dengan apa yang aku buat. Kenapa hanya karena itu, kamu ingin putus?” air mata ku sudah menggenang.
“Sebenarnya, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan keluargaku. Menyembuhkan ibu dan menyelesaikan sekolah adik-adikku. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menikah dik dan aku tak ingin meghalangi lelaki lain” Bima menunduk. Ia tak berani menatapku.

Aku terdiam, alasannya terakhir menjadi senjata yang cukup ampuh setelah ia berubah menjadi orang lain. Malam itu ia benar-benar melepasku. Bukan berpisah untuk sementara kemudian bersatu kembali seperti yang selama ini terjadi pada hubungan ku dengan Bima

Air mataku meleleh dan aku sudah di jalan Asia Afrika. Aku masuk ke parkiran gedung dan menuju lantai tiga. Aroma popcorn dari gedung bioskop sudah menyeruak ke hidungku. Hendi sudah berdiri di depan gedung bioskop. Ia melambai-lambaikan dua buah tiket dan sekotak popcorn ke arahku.

“Yuk cepat, filmnya sudah mulai” ia mengandeng tanganku. Ia tak pernah melakukannya padaku. Aku sedikit terkejut dengan gandengannya, aku hanya memandangnya dari belakang. Kemudian kami mencari tempat dan duduk.

“Nih, biasanya kamu cari ini” sambil menyodorkan popcorn manis kesukaanku.

Aku tertawa senang, dia temanku yang paling baik. Meskipun kita baru bertemu namun ia mudah mempelajari kebiasaanku. “Thanks ya”

Aku menikmati popcorn yang masih hangat, sambil menonton film. Tiba-tiba tanganku beradu dengan kotak beludru yang sudah ada di dalam kotak popcorn.

“Hen, apa nih?” sambil memperlihatkan kotak beludru di depan wajahnya.

“Buka deh” Hendi memiringkan wajahnya ke arahku. Ia mamandang wajahku yang keheranan sambil tersenyum.

Aku membuka kotak beludru tadi, dan sebuah cincin emas putih bermata berlian bertengger di sana. Tampak mengkilap dihujani cahaya dari layar bioskop.

Would you marrie me, honey?” Bisik Hendi mesra di telingaku. Ia mengecup keningku dan menggenggam erat tanganku. Tak lupa, ia mengacau rambutku.

Aku hanya diam, tak terasa air mata yang ingin kusembunyikan dari Hendi menetes lagi. Kali ini aku tak mengerti, apakah air mata kebahagiaan atau kesedihan. Semuanya melebur dalam asa yang kembali muncul.


14 agustus 2007