Senin, 19 November 2007

Cinta dari balik tujuh bukit (1)


Karya berlari kencang mendaki bukit keenam. Kakinya yang telanjang mencumbu setiap jengkal tanah basah yang ia lewati. Kubangan-kubangan penuh air bekas hujan semalam ia lompati dengan aman. Jurang dan lereng bukit yang curam selalu berhasil dilalui. Hutan dan jembatan bambu yang diikat ke pohon besar dengan tali ijuk sudah jauh ia lewati.


Jembatan bambu di tengah hutan itulah tempat Karya dan Sukesih biasa bertemu setiap hari. Memandangi wajah Sukesih yang syahdu di balik kain lurik yang melilit tubuhnya. Kakinya yang panjang tak ragu melewati jembatan bambu yang ringkih dan hampir mati. Matanya yang bulat dan tajam tampak serasi dengan hidungnya yang bangir. Bila purnama tiba, kulitnya yang kuning memantulkan cahaya bulan.


Sukesih bukan gadis Baduy biasa. Ia lahir dari keturunan Puun, seorang pemimpin adat tertinggi di suku Baduy dalam. Kebanyakan orang-orang memanggilnya dengan sebutan jaro Sukarna. Sehingga jaro Sukarna akan memilih sendiri calon pendamping bagi anak perempuan semata wayangnya.


Karya berhenti sejenak begitu sampai di puncak bukit keenam. Ia membetulkan sedikit ikat kepala warna hitamnya yang mulai kedodoran di balik rambutnya yang pendek dan rapi. Kaos hitam berlambang kelinci putih di dada kanannya mulai terlihat basah. Celana hitamnya yang agak kebesaran hampir menutupi kakinya yang telanjang. Golok terselip di pinggangnya tampak berkilau tertimpa cahaya matahari. Perutnya yang terlihat menonjol naik-turun mengikuti irama nafasnya. Matanya awas mengamati asap dari perkampungan kecil di lereng bukit ke tujuh.


“Tinggal satu bukit lagi, maka aku akan membawa lari Sukesih” batinnya bergumam penuh harap.


Dibukanya botol air mineral yang sedari pagi tersimpan rapi di dalam tas akar kayu yang di cangklong di pundaknya. Ia basahkan tenggorokannya yang sejak tadi mengering. Bayangan wajah Sukesih jelas tergambar dalam awan yang berarak ke selatan. Wajahnya penuh senyum mengingat pertemuannya pertama kali dengan Sukesih di pinggir sungai, dalam perkampungan Cibeo yang terletak di wilayah Baduy dalam.


Di atas bukit, pikirannya melayang ke saat Karya baru datang dari Ciboleger, wilayah Baduy luar. Ia sengaja masuk ke perkampungan Cibeo mencari hasil kerajinan Baduy dalam untuk di jual ke kota atau kepada wisatawan yang datang berkunjung.


Perjalanan dari Ciboleger ke Cibeo harus melalui tujuh bukit dan jalan setapak yang sempit. Terkadang harus melewati jalan yang curam di pinggir bukit. Peluhnya yang berubah lengket melekat erat di tubuhnya. Ia mencari sungai, sekedar membasuh badan. Kerinduan masa kecilnya kembali terhampar begitu ia memasuki sungai yang berhulu di sungai Ciujung yang belum tercemar.


Bapak dan Emaknya pun orang dulu orang Baduy dalam, mereka bertemu dalam perjodohan. Namun tawaran menggiurkan dari kerabat dekat membawa mereka meninggalkan warisan nenek moyang. Semboyan ‘tanpa perubahan apapun’ tak lagi jadi pegangan. Mereka mulai mengais uang dan membangun warung kecil di ujung kaki pegunungan Kendeng, desa Ciboleger.


Kemahirannya menyelam di sungai pada masa kecil menguji nyalinya. Karya berenang di sungai bak ikan yang baru bertemu air. Sesekali kepalanya muncul ke air lalu masuk lagi tak terlihat. Sampai akhirnya Karya tersentak dengan pemandangan seorang perempuan muda yang polos di depannya. Titik-titik air meluncur lembut dari kulitnya yang kuning, meliuk-liuk mengikuti alur tubuhnya. Rambutnya yang panjang terurai menutupi sebagian tubuhnya yang indah. Karya hanya terdiam terpaku menatapnya.


“Aaaah..” teriak si perempuan kaget, ia segera menenggelamkan keindahan tubuhnya ke dalam air sungai coklat muda. Matanya yang masih berada di atas air langsung tertutup begitu melihat karya yang telanjang dada.


“Maaf” Karya buru-buru membalikkan badannya.


Ia melangkah di dalam air, menuju semak bambu dan mencari pakaiannya yang di simpan. Kemudian berjalan ke rumah jaro Sukarna. Duduk menunggu dengan kaki bersila di teras bambu depan rumah jaro Sukarna, bayangan indah perempuan di sungai masih menari-nari dalam benaknya. Ia sibuk mencari sosok itu di sela-sela anyaman bambu yang jadi alas duduknya.


Tak lama jaro Sukarna yang baru datang dari ladang menghampirinya. Perawakannya kecil dibalut dengan baju tenun kasar berwarna putih kumal. Ia juga memakai sarung lurik. Kakinya telanjang, tampak akrab mengenal bumi. Rambutnya yang panjang disembunyikan di balik ikat kepalanya yang juga berwarna putih kusam.


“Sudah lama Karya” tanya jaro Sukarna ringan sambil ikut duduk bersila di depan Karya.


“Tidak juga, tadi mandi dulu di sungai” jawab Sukarna.


Jantung karya seolah berhenti berdenyut begitu melihat sesosok perempuan muda memasuki rumah panggung jaro Sukarna. Ia mencari sosok polos dalam tubuh perempuan muda tadi lengkap dengan kain lurik yang tersangkut di pojok semak bambu.
Mata Karya terus mencuri sosok perempuan tadi yang berjalan di depannya.


“Sukesih, sediakan minum” perintah jaro Sukarna kepada anaknya.


Sukesih yang baru datang dari sungai segera ke dapur yang hanya dibatasi oleh bilik bambu yang hitam abu jelaga. Tangannya lincah menyeduh bubuk teh. Tak lama ia membawa minumannya keluar dan sempat memandang Karya. Sebuah senyuman di lemparkan dari bibir Sukesih.
Hati Karya berdesir kencang…


***
Keesokan harinya Karya datang lagi ke Cibeo. Ia langsung menuju ke rumah jaro Sukarna. Namun ia tak menjumpai Sukesih di sana ataupun jaro Sukarna di sana. Kaki Karya langsung menuju sungai.


Sepagi ini Sukesih pasti masih mencuci di sungai.Karya berjalan melewati jejeran rumah panggung yang berdinding anyaman bambu. Tiang-tiang kayu tampak suram dan kaku memandang senyum wajahnya. Jalan tanah yang ia lewati sebagian berbalut tumbuhan hijau, sedikit licin dan berkontur.


Daratan rendah menjorok ke sungai di depan matanya. Ia semakin semangat mempercepat langkahnya. Dari tepi sungai, ia melihat Sukesih di dekat batu besar. Pakaiannya di pukul-pukul ke batu besar, lalu kembali dicelupkan ke dalam air sungai. Tak ada buih sabun disana.
Karya hanya diam menatap Sukesih dari pinggir sungai. Ia tak lagi menghiraukan perempuan-perempuan yang ramai membicarakan kehadirannya di tepi sungai.


Dari kejauhan, Sukesih melihat Karya. Ia tersenyum malu dan mempercepat mencucinya.
Karya masih menunggu Sukesih di tepi sungai, yang sebentar lagi menghampirinya. Mereka bertemu dan saling bertukar senyum. Wajah Sukesih memerah dan mereka berlalu dari tepi sungai.


Sepasang mata dari seberang sungai memandangi keduanya beralu. Dadanya terbakar melihat Sukesih bersama lelaki lain. Ada rencana busuk dalam benak lelaki itu.


***


Matahari hampir tenggelam, Karya baru selesai membungkus barang-barang kerajinan yang dibelinya dari masyarakat Cibeo. Ia membawa madu alam, tas akar kayu, kain lurik dan beberapa gantungan kunci serta gelang akar. Bibirnya menyungging puas. Semua ia tukar hanya dengan teh, kopi dan gula yang ia bawa dari kota. Kegiatan ini menjadi kegemarannya sekarang, selain untungnya besar ia bisa lebih sering melihat wajah cantik milik Sukesih dan mengenalnya lebih dalam.


Karya bergegas meninggalkan Cibeo, sepanjang jalan kepalanya menghitung keuntungan yang akan diperolehnya. Namun pikirannya resah, hari ini ia tak bertemu dengan Sukesih, anak perempuan jaro Sukarna. Bayangan wajah sukesih bergantian dengan lembaran rupiah yang akan diraupnya. Langkahnya dipercepat melihat hari mulai gelap.


Langkahnya terhenti di dekat lumbung-lumbung padi yang mengawal perkampungan Cibeo. Dadanya bergemuruh kencang begitu mendengar suara erangan dari arah kumpulan lumbung padi. Perlahan, ia mencari arah suara mencurigakan. Daun kupingnya berdiri menyimak setiap suara dari setiap lumbung padi yang berbentuk barisan. Akhirnya karya menemukan asal suara. Ia segera menuju semak di belakang lumbung padi yang kaku berdiri. Dari balik semak, ia melihat dua sosok bayangan. Satunya tergeletak tak berdaya di bawah cengkraman tubuh lainnya.


Karya belum sempat menyadari semuanya, namun sesosok lelaki di dalam semak menyadari kedatangan Karya, ia segera melompat menghampiri Karya dan memukul keras. kemudian berlari kencang. Di kegelapan malam, karya masih mengenali sosok itu.


“Komar jahanam” umpatnya dalam hati.


Komar adalah teman masa kecilnya dulu, ketika orangtuanya masih menjadi bagian warga baduy dalam. Komar pula yang sering menantangnya berenang di sungai atau bersaing mencari madu alam di tengah hutan. Komar tak pernah berubah, tabiatnya licik seharusnya bukan milik orang baduy dalam. Ia ingat benar, ketika Komar mengajaknya ke kota terdekat untuk melihat upacara seba. Menikmati penyanyi dangdut dengan goyang aduhai. Ketika sampai ke Cibeo, Komar mengadukan perbuatannya pada jaro Sukarna. Akhirnya Karya harus menjalani hukuman adat. Bayang-bayang Komar memang tak pernah lepas dari ingatannya.


Karya segera mendekati sosok tubuh yang masih lemah tak berdaya. Tubuh yang halus dan berliku itu milik seorang wanita. Karya menghalau rambut panjang yang menutupi wajah perempuan yang belum siuman tadi. Hatinya berdesir, ia sangat mengenali perempuan di depannya.


Bersambung...

Cinta dari balik tujuh bukit (prolog)


Bulan purnama masih bersanding dengan bintang-bintang di atas langit malam yang cerah. Cahayanya terus membuntutinya berlari. Ia mencari bayangan pohon besar di dalam hutan untuk bersembunyi. Golok dalam ganggaman tangannya yang kokoh meneteskan cairan darah kental yang berkilat di tempa sinar bulan. Wajahnya bersimbah keringat, nampak cemas dan berharap. Kakinya yang besar berlari tak terarah, diikuti gerakan tangannya yang berotot keras.


Dari atas bukit, ia memandang perkampungan di lereng bukit. Jejeran rumah panggung beratap rumbia masih sama, gelap dan tertutup pepohonan. Sebentar lagi akan terlihat jelas seiiring datangnya fajar. Ia alihkan pandangannya ke ladang, tak jauh dari perkampungan. Matanya buram dan gelisah melihat dalam ke sebuah saung beratap rumbia di tengah ladang. Raut wajah kecewa tampak jelas.


Seketika gerak refleksnya bangkit, matanya yang kecil mengawasi sekitarnya ketika mendengar suara gemerisik dari semak pohon bambu. Sepasang mata merah mengikuti gerakan tubuhnya yang kaku. Golok yang selalu diselipkan di pinggangnya kini masih berlumur darah. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi siap menerjang musuh. Kakinya memasang kuda-kuda. Alam pikirannya berkecamuk penuh duga. Komar kah yang mengikuti larinya.