Senin, 19 November 2007

Cinta dari balik tujuh bukit (prolog)


Bulan purnama masih bersanding dengan bintang-bintang di atas langit malam yang cerah. Cahayanya terus membuntutinya berlari. Ia mencari bayangan pohon besar di dalam hutan untuk bersembunyi. Golok dalam ganggaman tangannya yang kokoh meneteskan cairan darah kental yang berkilat di tempa sinar bulan. Wajahnya bersimbah keringat, nampak cemas dan berharap. Kakinya yang besar berlari tak terarah, diikuti gerakan tangannya yang berotot keras.


Dari atas bukit, ia memandang perkampungan di lereng bukit. Jejeran rumah panggung beratap rumbia masih sama, gelap dan tertutup pepohonan. Sebentar lagi akan terlihat jelas seiiring datangnya fajar. Ia alihkan pandangannya ke ladang, tak jauh dari perkampungan. Matanya buram dan gelisah melihat dalam ke sebuah saung beratap rumbia di tengah ladang. Raut wajah kecewa tampak jelas.


Seketika gerak refleksnya bangkit, matanya yang kecil mengawasi sekitarnya ketika mendengar suara gemerisik dari semak pohon bambu. Sepasang mata merah mengikuti gerakan tubuhnya yang kaku. Golok yang selalu diselipkan di pinggangnya kini masih berlumur darah. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi siap menerjang musuh. Kakinya memasang kuda-kuda. Alam pikirannya berkecamuk penuh duga. Komar kah yang mengikuti larinya.

1 komentar:

garinsa mengatakan...

Sar, piye kabarmu? Seneng aku ndelok photo-photo nikahmu. Mung aku sedih kok koe ora ngabari-ngabari aku. Btw congratulation ya Sar, Hope both of you becoming a sakinah family. Amin.
Iki saking konco mu ning Jogja,