Kamis, 20 September 2007

Musim amplop tiba


Semburat rona jingga menghiasi ufuk timur. Perlahan menghilang ditelan cakrawala. Tetes embun pagi baru saja bergulir pergi. Kokok ayam jantan mengiringi datangnya pagi. Kampung keling di pinggiran kota sudah tampak ramai. Pedagang buah mulai membenahi dagangannya untuk dibawa ke pasar. Kaum perempuan hilir mudik menuju pasar. Kaki kecil anak -anak berseragam sekolah berjalan lincah melewati rumah haji Abas. Suaranya riang mengalahkan suara gerakan serentak dari barisan pemuda tanggung yang sedang berlatih bela diri di halaman rumah haji Abas. Salah satu mantan jawara yang sekarang menjadi tokoh kampung yang paling berpengaruh di kampung keling.

Haji Abas berdiri di depan barisan, memberi perintah dan aba-aba dengan gerakan tangannya yang lincah. Sesekali kumis lebatnya bergerak-gerak mengikuti bibirnya mengeluarkan suara gerakan melompat.

“Bang, sini bang. Penting nih” istri haji Abas dari teras melambaikan tangan.

Haji Abas menghentikan tangkisannya. Mulutnya tampak komat kamit meminta Juri, asistennya untuk menggantikan sejenak. Segera menghampiri istrinya.

“Minah, pan abang udah bilang. Jangan ganggu kalau abang lagi ngajar. Apaan sih, kayak darurat perang aja” kumisnya ikut naik turun mengikuti mulut Haji Abas. Diraihnya kopi kental buatan istrinya di atas bale.


Mulut Minah ditekuk mendengar ocehan suaminya. “Ini emang darurat perang Bang”

Minah mendekati suaminya dan berbisik, “Beras abis Bang”.

Haji Abas diam seperti berfikir kencang. Diletakkan kembali gelas kopi yang sudah dipegang.


“Mmm, hari ini pan murid gue bayaran. Ntar siangan gue kasih uang”.


Haji Abas melayangkan pandangannya ke jejeran pohon rambutan di samping rumahnya. Belum ada yang berbuah, berarti belum ada pemasukan. Ia kembali ke halaman, dahinya berkerut seperti berfikir kencang. Di perhatikan satu-satu anak muridnya. Sesekali membetulkan gerakan yang salah.

“Assalamu'alaikum cang Aji” suara lantang membuyarkan pikiran haji Abas.

“Wa'alaikum salam” kepalanya bergerak-gerak mencari-cari sumber suara yang datang.

Seorang anak muda yang tak pernah dikenalnya. Wajahnya bulat dengan pipi gemuk yang menggantung. Kemejanya tampak kebesaran dengan celana beigy hitam. Meskipun gemuk, pemuda ini lincah bergerak mendekati Haji Abas. Ia menyodorkan tangannya yang langsung di sambut hangat.

Haji Abas masih kebingungan, namun ia mempersilahkan tamu tak dikenalnya duduk di bale depan.

“Cang Aji, aye Roni. Encang pasti kenal sama Haji Dudungkan?”

Wajah Dudung, juragan kecapi yang juga kerabat dekatnya langsung terbayang dibenaknya. Roni melanjutkan perkenalannya

“Haji Dudung itu pan punya anak, Ali. Ali itu punya guru ngaji”

“Nah trus, lo apanya Dudung?” Dahi haji Abas tambah berkerut dan kumisnya bergoyang goyang.

“Aye tetangganya guru ngajinya Ali, yang anaknya Haji Dudung” sambil tersenyum puas

“Busyet dah, jauh amat. Trus maksup lo apa, pagi-pagi dah ke rumah gue. Lu kan tau kalau gue lagi ngajar murid gue, gak boleh ada yang boleh gangguin. Sekalipun si Minah” suara Haji Abas menggelegar bak menakuti musuhnya.

Tubuh Roni mengkerut mendapat kopi pahit dari haji Abas.

“Maap cang aji, Minah itu siapa” suaranya kecil ketakutan

“Aaaag, lu tu ye, cepet apa maksup lo” rona memerah menghiasi wajah haji Abas.

“Maap cang aji, aye cuma nyampein pesan pak lurah aje”

Wajah haji Abas kembali tenang begitu mendengar kata pak lurah.

“Begini cang aji, encang kan orang besar dan paling pengaruh disini. Pak lurah mau minta tolong. Tapi bukan secara resmi. Dikit lagi pemilihan orang nomer satu di kota ini. Peristiwa ini kan penting banget buat kita cang. Pak lurah minta supaya kampung keling bisa diamanin sama Cang aji”

Haji Abas mengangguk-angguk seperti tanda mengerti.

“Calon resminya kan cuma dua. Pak lurah minta supaya orang nomer satu di kota ini bukan orang sembarangan. Dia harus pengalaman mengelola kota ini cang. Jangan sampai budaya kita yang diturunin dari nenek moyang hilang. Jangan sampai ada kemacetan dan gaji pegawai di kota ini bisa naik cang. Jadi orang miskin bisa berkurang” tangan Roni bergerak-gerak seperti sedang bersajak.

“Jadi cang, orang yang paling pantas ya orang dalam sendiri. Bukan calon yang sok tau. Calon yang baru masuk mesjid aja, ngomongnya dah selangit. Kayak kyai aja” mulut Roni monyong-monyong.

Dahi haji Abas makin berkerut, ada ketidaksetujuan dengan pernyataan Roni. Namun ia urung mengungkapkan. Matanya yang bulat dan tajam terus memperhatikan Roni promosi soal calon nomer satu di kota ini. Sesekali kepalanya mengangguk setuju, sesekali geleng-geleng kepala tak setuju. Satiap Roni bicara dengan bahasa tinggi dahinya berkerut.

“Cang, ane pamit dulu ya. Mau ke kantor takut kesiangan” Roni menyalami haji sambil menyelipkan amplop putih ke tangan Haji Abas “Tolong amanin ya Cang, Assalamu'alaikum”
Dari atas teras, Haji Abas memandangi punggung Roni yang menjauh pergi.

“Juri, latihan selesai” sambil mengacungkan jempol kanannya dan masuk rumah mencari Minah. Ada senyum cerah di wajah haji Abas.


***
Matahari baru tenggelam. Suara adzan maghrib berkumandang di kampung keling. Haji Abas bergegas menuju mesjid di belakang rumahnya. Wajahnya senyap melihat barisan jamaah sholat maghrib yang semakin berkurang. Seusai sholat haji Abas bergegas pulang, mencicipi semur daging buatan istrinya malam ini.

“Assalamu'alaikum cang Aji” Rohmat, tetangganya menghalangi niatnya pulang.

“Wa'alaikumsalam”

“Maaf cang Aji, ada waktu gak, ane mau ngobrol bentar”

Haji Abas dan Rohmat menuju pojok mesjid. Keduanya duduk bersila dan tampak terlihat pembicaraan serius. Sesekali badan haji Abas terlihat condong ke depan menyimak pembicaraan Rohmad.

“Makanya cang aji, pemimpin nomer satu di kota ini harus punya wawasan luas, berakhlak mulia dan punya visi yang jelas. Harus punya orientasi kemanusiaan. Cang aji kan dah ngerasain bagaimana rasanya kebanjiran. Kota makin macet dan pengangguran makin banyak. Kriminalitas tinggi. Dah gitu, katanye banyak korupsi. Kalau calonnya die juga, dari orang dalem juga. Mau jadi ape kota kite ini. Ya gak cang aji” menatap tajam haji Abas seperti minta persetujuan.

Haji Abas hanya manggut-manggut.

“Saya minta tolong cang Haji, mudah-mudahan kota kita yang tercinta ini bisa pulih kembali”
Keduanya terdiam. Haji Abas terlihat bimbang.

“Sebelumnya, saya ucapin banyak terima kasih cang Haji” Rohmat menyalami tangan haji Abas sambil menyelipkan amplop putih ke genggaman haji Abas.

“Saya duluan cang Haji, Assalamualaikum..”

Haji Abas hanya termangu melihat kepergian Haji Rohmat, tetangganya salah satu pengurut partai.


*****
Malam ini ruang Makan rumah haji Abas cukup meriah. Anak dan cucunya yang tinggal di kampung lain datang berkunjung. Minah masak semur daging, kesukaan seluruh keluarga. Riuh suara televisi bersahutan dengan suara cucu haji Abas.

“Beh, makannya lahap bener. Kayak abis dapet durian runtuh aje” celetuk Yusuf, anak tertuanya.

“Bisa aja lu, ini karena semur emak lu yang enak banget”

Minah, ikut menyambar “Babe emang dapet durian runtuh cup. Hari ini dia dapet dua amplop dari calon pemimpin di kota ini”.

“Wuuih, banyak banget beh. Ucup juga mau, mana bagian ane” sambil menodongkan tangannya ke hadapan haji abas yang sibuk makan.

“Apaan sih lu Cup, justru babe lagi kecewa nih” Haji Abas minum air putih, melancarkan pembicaraannya.

“Kecewa kenapa beh?” Ucup terlihat heran.

“Iye, seandainya ada calon Independen. Entu tuh, calon lain selain yang ada sekarang. Babe pasti bisa makan semur daging tiap hari. Makanya Babe setuju banget sama komentator yang di tipi itu”

“Kok, gituh be?” kali ini Minah yang bingung.

“Iye, kalau ada calon independen, haji Jufri sama Juragan Somad bisa ikutan jadi calon. Nah amplop yang gue terima tambah banyak dong. Pan elo bisa bikin semur daging tiap hari” jelas haji Abas

“Babe....” teriak Minah dan Yusuf bersamaan.

sarie

Tidak ada komentar: