Kamis, 19 Juli 2007


Hujan turun sejak dua hari ini dibukit Lawang. Arus sungai Bahorok bertambah deras dan mambawa sisa-sisa sampah serta kayu kering. Air sungai yang biasanya jernih kini dipenuhi warna coklat yang membawa kikisan tanah di sekitar bukit lawang. Bukit yang memiliki pemandangan paling indah di Langkat, Sumatera Utara.

Seorang gadis berlari-lari keluar dari sebuah bungalo di tepian sungai Bahorok. Payungnya yang berwarna hitam tak mengembang sempurna dan hanya menutupi sebagian tubuhnya. Kaki kecilnya yang tak beralas mantap menjejak tanah, menuruni bukit dan menuju sebuah rumah kayu di kaki bukit.

“Mak, air sungai meluap” teriak Butet sambil menerobos kedalam rumah.

Seorang perempuan tua yang sedang berbaring di dipan kayu yang setengah reot tak bergerak. Sinar matahari yang biasanya membangunkannya tak mampu menerobos bilik kayu yang sudah renggang.

Kali ini, gadis itu mengguncang tubuh mamaknya.“Bangun mak, kita harus segera mengungsi”
Tubuh itu tampak lemah, matanya terbuka perlahan.


“Kenapa sungai Bahorok Tet?” katanya lirih menahan sakit.

“Sungai Bahorok hampir meluap, Mak” katanya bergegas menuju lemari kayu yang kacanya sudah retak.


Ia menggelar sarung di lantai kayu dan segera memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Kemudian ia mengikat erat erat dengan ujung-ujung sarung

“Ayo mak, Butet gendong”

Tubuh butet yang kecil langsung tenggelam, ketika tubuh ibunya berada di punggungnya. Badannya seperti terlipat dua.Langkah kecilnya berat setengah di seret. Tubuh ibunya yang lumpuh disangga dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan membawa buntelan kain.
Tetes hujan yang turun mulai berkurang. Semburat jingga di ujung bukit Lawang jelas terlihat. Keindahannya menghiasi langit desa. Namun arus sungai Bahorok bertambah deras. Air sudah menyentuh bibir sungai. Diperkirakan beberapa jam lagi air bisa meluap. Beberapa penduduk terlihat mengikuti jejak Butet. Mereka membawa sepeda, gerobak, hewan ternak dan bermacam bekal untuk mengungsi ke balai desa terdekat. Biasanya kalau sungai Bahorok meluap, balai desa adalah tempat berlindung yang paling aman.

***

Balai desa sudah dipenuhi pengungsi, mereka mulai menggelar alas untuk tidur. Tangisan Bayi dan anak kecil memenuhi balai desa. Ditengah udara dingin, mereka harus menahan lapar. Sementara hujan kembali turun dengan derasnya membentuk simfoni kehidupan yang tak terjawab. Butet masih sibuk menggelar selimut untuk tidur ibunya yang lumpuh

“BUTEEEET”

suara nyaring bang Poltak mengagetkan orang orang dibalai desa. Sambil berlari ia menghampiri Butet, melewati jejeran pengungsi yang mulai beristirahat di lantai yang beralaskan seadanya.

“Tet, bapak mu.... bapak mu masih diatas. Dia belum turun sejak siang tadi” nafas nya terangah-engah seperti habis berlari jauh.

Butet terhenyak, “BAPAK...”

“Kau jangan kesana, air sudah meluap. Bahaya”“tapi bang, bapak bagaimana” kata Butet risau.


“Biarkan saja bapakmu, dia sudah kubilang jangan menebang pohon. Hujan tak berhenti. Tapi dia tak mau dengar. Bapakmu itu sudah pantas buat mati” teriak bang Poltak dengan logat bataknya yang kental.


“Bang, titip mamak ya” kata Butet segera meninggalkan balai desa menuju hulu sungai Bahorok. Suara bang Poltak yang mencegah Butet sudah tak dihiraukan.


Langit malam yang kelam tak ditemani sinar rembulan. Mendung masih menggantung di atas sungai Bahorok. Namun kegelapan tidak membutakan Butet menemukan liukan jalan dipinggir sungai yang diakrabinya sejak kecil. Kaki kecilnya berlari kencang melewati bungalo dan hotel di sepanjang sungai Bahorok. Sesekali ia berhenti menanyakan bapaknya

“Bang Henry, liat bapak ku?” katanya setengah berteriak dari luar pagar bungalo.

“Tadi pagi kulihat mendaki bukit. Kayaknya pakai jas hujan hijau dan membawa mesin potong bersama kawannya. Tak tampak jelas siapa kawannya” teriak bang Henry panjaga bungalo.

Butet ajukan pertanyaan sama kepada semua orang dijalan yang ditemui

“Lusi, kau lihat bapak ku tidak?”“sepertinya kulihat ia menebang pohon disana. Suaranya bergemuruh”


Beberapa orang yang kutanyakan memiliki jawaban seragam dengan bang Henry atau Lusi. Butet terus berlari, melalui hotel dan bungalo di tepian sungai Bahorok yang malam ini menjadi sangat menakutkan. Butet mengambil jalan berputar menuju atas bukit Lawang. Tempat bapaknya menebang pohon. Sudah 3 tahun ini ia bekerja kepada seorang cukong kayu dari Malaysia. Pekerjaan yang hampir dilakukan oleh seluruh penduduk desa.

Butet belum sampai menuju ke atas bukit, namun suara gemuruh dari hulu sungai Bahorok. Belum sempat ia melihat ke atas, ratusan balok kayu yang di letakkan di pinggir sungai meluncur ke bawah bersama air bah yang meluap. Menerjang semua benda yang menghalanginya. Butet segera berlindung di balik pohon pinus yang cukup besar. Di peluknya pohon itu kuat-kuat agar ia tidak terbawa arus sungai. Sesekali balok-balok kayu menghantam kaki, tangan dan badannya. Semua rasa sakit tak lagi dirasakan, semuanya hilang. Pikirannya hanya tertuju pada bapaknya dan mamaknya.

Butet tidak ingat, berapa jam ia memeluk batang pohon cemara, ia hanya ingat ratusan balok kayu bersama air bah yang meluncur menghantam desanya. Badannya terasa remuk, namun kakinya ia paksakan menuruni bukit lawang melewati aliran sungai Bahorok. Dinginnya udara malam tak diacuhkannya, sesekali ia terjatuh terantuk batu. Setengah berlari dan berjalan ia menuju perkampungan didesanya.

Dalam keremangan malam, ia melalui hotel-hotel dan bungalo dipinggir sungai Bahorok yang rusak terhantam kayu -kayu besar. Butet semakin panik. Ia berlari dan meloncati kayu dan sampah bekas banjir bandang menuju balai desa. Nafasnya terengah-engah mengikuti alur sungai Bahorok yang deras. Matanya menyapu wajah desanya yang ikut hancur. Hampir semua rumah didesa ini tak lagi utuh, sebagian rumah hanya tinggal dinding yang tampak basah menahan terjangan air bah. Balok-balok kayu berserakan tak beraturan. Ia tidak menemukan seorang pun, hanya tubuh-tubuh tak bernyawa yang terus ia lewati. Tak jauh dari rumahnya ia melihat 2 tubuh manusia yang nyangkut di atap rumah.

Langkahnya dipercepat, pikirannya tak lepas dari mamaknya yang ia tinggal di balai desa. Dari kejauhan ia mendengar suara bang Poltak memanggilnya. Namun tak dihiraukannya. Dadanya ikut bergemuruh begitu melihat atap balai desa yang rusak dari kejauhan. Tubuhnya yang lemah terus dipaksakan untuk berlari sampai akhirnya kakinya terantuk sebuah benda besar yang lunak. Ia terjerembab di depannya

“Astaga” gumam Butet

Baru saja ia akan meneruskan langkahnya, ia menengok ke benda yang menghalangi larinya. Tampak sesosok tubuh manusia yang sudah tak bernyawa. Tubuh itu memeluk buntelan kain dengan corak yang tak asing baginya. Segera dibalik tubuh mayat yang menghalangi langkahnya.

“MAMAAAAAAAAAAAK........”


pud


Tidak ada komentar: