Senin, 16 Juli 2007

Kupilih mati bersamamu


“Bang Toyib...Bang Toyib.. lama tak pulang-pulang.. anakmu anakmu panggil-panggil namamu... bang toyib...”

Dendangan lagu dangdung dari radio 2 band berasal dari rumah kontrakan Helen. Senandungnya tak malu-malu membahana memenuhi perkampungan padat di pinggiran kota Jakarta. Padahal matahari saja masih malu-malu untuk keluar. Beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci di pinggiran kali Ciliwung tersenyum senyum malu mendengar lirik lagu Bang Toyib yang menggelitik.

“Tiga kali lebaran...tiga kali puasa, abang tak pulang-pulang.. sepucuk surat tak datang”

Suara sumbang Helen terdengar lebih keras dari penyanyinya sendiri. Sambil berdendang, ia mulai berdandan dikamarnya yang sempit. Perlahan ia oleskan alas bedak agak tebal untuk menutup noda hitam bekas jerawat. Lalu ia taburkan bedak dengan hati-hati sehalus mungkin. Tak lupa ia pulaskan eye shadow warna biru dan coklat dikelopak matanya, memberikan blush on di tulang pipinya dan lipstik warna merah darah di bibirnya yang tipis. Bayangannya di cermin bulat yang berdebu tampak berbeda. Bayangan itu lebih menampakkan wajah jelita seorang wanita. Bibirnya tersenyum puas. Namun ada yang kurang ditubuhnya. Diambilnya 2 buah busa keras yang sudah tampah lusuh dan kusam. Diselipkan satu busa dibalik kutang hitamnya, satu disebelah kiri satu disebelah kanan. Sesekali ia merapikan posisi busa itu agar tampak alami di balik kaos sabrina merah yang ia kenakan.

“Sempurna” gumam Helen.

Dimatikannya radio 2 bandnya, juga lampu kamarnya yang menyala sejak sore kemaren. Diambilnya Sepatu hak tinggi keemasan dipojok ruang tamu yang merangkap dapur, kemudian dibersihkan dengan rok hitamnya. Kotak kayu yang berisi tape karaoke dan sebuah mikrofon ia gantungkan di bahunya.

*****
Siang ini dibulan Juni panasnya Jakarta seolah ingin memanggang penduduknya yang semakin padat. make up Helan tampak pudar bercampur peluh. Bibirnya yang merah menantang sudah berubah pucat. Namun ia tak merisaukan hal itu. Bibirnya yang tipis dan mungil tampak selalu tersenyum genit menyapa orang-orang yang menggodanya di sepanjang jalan sabang yang hampir 3 bulan ini dilaluinya. Tak lupa Ia mampir ke warung sate dipojok jalan sabang

“Permisi om.... eke numpang nyumbang suara ya......” dengan lincah jemari Helen menyalakan tape karaokenya dan menyanyi dengan microfon yang sejak tadi dipegangnya.

“....blai...blai..blai..blai..blai.. panggil aku si jablai, abang jarang pulang aku jarang di belai”

Helen ikut melenggak lenggok bak seorang Titi Kamal sedang bernyanyi diatas panggung. Rambut Wig nya yang panjang dan berwarna pirang ikut dimainkan dan goyang pinggulnya bergerak ke kanan dan kiri.

Semua pengunjung warung sate yang mayoritas laki-laki itu tersenyum-senyum geli. Penjual sate yang terlihat serius sedang memanggang satenya ikut tertawa melihat aksinya. Helen segera menyodorkan kantong bekas permen kepada pelanggan warung sate.

“Ee... jangan colak colek dung bow... emang kita cewek apaan?”

“Alaah dikit aja mbak, cuma mau tau ini asli gak?” sambil menunjuk ke bagian dada.

“Eee ini asli bow, cuma ngasih seribu aja mau pegang-pegang. Ee rugiiii deeh. huh!” damprat Helen angkuh dengan nada sedikit genit.

Belum sempat ia beranjak dari warung sate, dua orang perwira polisi terlihat mendekatinya. Hatinya bergemuruh, mukanya memerah dan kakinya terasa lemas tak mampu berdiri lagi. Namun ia berusaha bersikap wajar. Tepat didepan warung sate tampak mobil patroli polisi diparkir.

“Maaf anda Heri kan? Anda harus ikut kami ke kantor” kata seorang polisi tegas sambil menyodorkan surat penangkapan.

“Eh, mas ganteng nama saya Helen bukan Heri... apa salah saya? Saya kan cuma ngamen. Masa ngamen aja gak boleh sih” rayunya manja.

Namun kedua polisi tersebut tidak bergeming, segera dikeluarkan borgol dari pinggangnya dan segera digelangkan ke kedua tangan Helen. Sambil mendorong Helen keluar.

Suara hiruk pikuk pengunjung di warung sate bercampur dengan klakson kendaraan di pertigaan jalan sabang perlahan menghilang....

*****
Hujan di bulan Februari tak berhenti sejak sore, kilat ikut meramaikan langit dengan suara gemuruh dan sinarnya yang terang. Suara suara besi baja beradu dengan kayu yang datang dari sebuah rumah kecil dipinggir hutan larangan di wilayah tulang bawang samar-samar terdengar, namun tak satupun orang yang mendengar suara itu. Ditengah cuaca yang buruk tak ada seorangpun yang keluar, apalagi menuju hutan larangan.

Di ruang tamu rumah tersebut, jam dinding menunjukkan pukul 1.30 dini hari. Seorang lelaki bertelanjang dada tampak sibuk memotong sesuatu. Keringat yang bercampur darah mengucur dari seluruh tubuhnya yang kekar dan berotot. Dadanya yang bidang bergerak-gerak mengikuti tangannya yang sedang mengayunkan golok. Memisahkan bagian kaki dan tubuh mayat manusia diatas sebuah balok kayu. Mukanya memerah menahan amarah. Kaki dan tangannya ikut gemetar mengikuti perintah otaknya. Hatinya mengecil dan nalurinya membuas mengalahkan buasnya seekor beruang grizzy yang besar kala ia mengingat Arman, yang selama 3 tahun ini menjadi kekasih gelapnya.

Arman sudah berjanji sehidup semati bersamanya, menemani hari-harinya. Bahkan ia dan Arman sudah membeli sebuah rumah di tulang bawang, bandar lampung untuk hidup mereka. Ia rela meninggalkan keluarganya di Menado demi Arman. Meninggalkan anaknya yang paling ia cintai dan istrinya yang tak pernah menyakitinya. Semua demi Arman, demi hubungan yang tak biasa ia jalani. Rasa yang sangat besar kepada lawan jenisnya ini sudah ia sadari sejak lama, namun selalu ia pendam dan kubur dalam-dalam. Sampai akhirnya ia menikah dengan Rita di Menado.

Namun Arman datang kembali dalam sebuah kenangan yang tak pernah terlupakan. Gelora cintanya yang pernah pudar kembali bersemi. Menyirami setiap relung hatinya yang pernah layu.

Betapa kecewanya Heri, ketika suatu hari ia mengetahui Arman bercinta dengan mantan pacarnya Rita. Diatas ranjang mereka. Darahnya mendidih dan kesucian cintanya diinjak injak.

JEDEER!!!

Suara petir ditengah hujan yang bertambah deras membuyarkan lamunannya akan Arman. Air matanya meleleh tak berhenti. Sesekali ia sesunggukan tenggelam dalam tangisnya. Air matanya yang menetes ke lantai bercampur darah yang berceceran diatas ubin keramik putih. Tiga buah karung plastik bekas telah berisi sebagian tubuh kekasihnya.

*****

Mobil patroli polisi membawa dirinya meninggalkan jalan sabang menuju polsek Menteng. Raungan sirene mobil patroli yang memenuhi jalan yang dilaluinya tak sebesar bunyi raungan hatinya sendiri. Dadanya bergemuruh seperti gunung merapi yang hendak mengeluarkan lavanya. Perutnya seperti diinjak-injak seribu gajah. Kaki dan tangannya gemetar ketakutan membayangkan nasib dirinya. Butir-butir keringat sebesar jagung menetes tak berhenti. Dunia seperti berputar sangat kencang

Ingatannya kembali kepada Arman kekasihnya, yang ia bunuh 4 bulan lalu. Ia sangat menyesali peristiwa itu dan tak pernah memaafkan Arman. 3 buat karung berisi potongan tubuh Arman ia buang ditempat terpisah di bandar lampung dan di laut ketika menyebrang dari Bakauheni ke Merak. Ia tak ingin membunuh Arman, ia sangat mencintai Arman. Ia lebih rela bila Arman menjadi milik orang lain. Ia tak bisa melihat Arman dengan siapapun apalagi dengan Rita. Arman hanya akan menjadi miliknya.

Tetes air mata bercampur peluhnya turun membasahi pipinya. Tangannya yang masih terborgol berusaha meraih sebilah pisau di dalam kotak kayu yang disandang dibahunya. Perlahan tangannya dapat menguasai benda tajam yang selalu dibawa kemanapun.

Hatinya tertawa keras, sekeras gelegar petir dimalam itu. Arman hadir kembali. Disentuhnya wajah Arman dengan sentuhan paling lembut. Ia akan kembali bersama arman, meneruskan mimpinya yang sempat hancur.

Dalam mobil patroli, kedua polisi yang sedang berbincang tak pernah menyadari, jok belakang mobilnya dipenuhi cairan kental berwarna merah........

pud












Tidak ada komentar: