Sabtu, 21 Juli 2007

Langit di atas langit


Matahari sudah condong ke barat Jakarta. Teriknya yang menyengat perlahan berkurang ditutupi awan. Debu jalanan bercampur gas pembuangan kendaraan berterbangan, memaksa pejalan kaki menutup hidungnya dengan saputangan. Sunarto tak punya saputangan, terpaksa ia jepit hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari. Sekedar mengurangi asap knalpot yang meracuni darahnya. Di akhir pekan Jakarta tampak lengang, bahkan bis kota jarang terlihat. Sejak limabelas menit lalu Sunarto masih menunggu bis jurusan Senen-Blok M. Meskipun busway lalu lalang di depannya namun ia tampak cuek.

“Lumayan, bisa ngirit seribu lima ratus” pikirnya.

Tak lama kemudian, bis besar berwajah suram dan kumal berhenti di depannya. Setengah berlari, ia segera naik dan duduk di kursi paling depan. Wajahnya cerah membayangkan senyum manis Mimin temannya satu kantor yang akan ia temui di Blok M. Tak lupa ia amankan telepon genggam dalam kantong celananya. Menurut Amin, teman satu kontrakannya, copet paling suka beroperasi di bis jurusan ini.

Dielus-elus telepon genggam dalam sakunya yang baru dibelinya kemarin. Telepon genggam yang ini beda dari yang pernah ia miliki sebelumnya. Yang ini ada kamera di belakang, kata penjualnya kamera 1,3 megapixel. Tapi Sunarto tak tau apa maksudnya. Ia hanya tau telepon genggamnya bisa mengambil wajah Mimin yang manis dan menyimpannya. Seperti ia menyimpan wajah Mimin dalam hatinya.

Sepanjang jalan, ia terus membayangkan senyum manis Mimin dan gelondot manja di bahunya. Syukur-syukur masih dapat kecupan mesra. Namun hatinya gusar ketika membayangkan wajah Biyungnya (Ibu dalam bahasa jawa-red) di desa. Biyung pasti marah besar kalau tau tabungannya selama setahun ia habiskan untuk sebuah telepon genggam berkamera. Apalagi bulan ini ia absen ngirim wesel demi mengabadikan wajah Mimin dalam telepon genggamnya. Gajinya bulan ini yang ngepas sebagai office boy di Jakarta, hanya tinggal recehan dan selembar lima puluh ribuan.

“Mudah-mudahan pak Irsan, bu Irna dan mas Hendra yang baik ngasih tip makan siang lebih besar besok” do’anya dalam hati.

Seandainya Agus, rekannya sesama office boy lantai sepuluh itu tidak naksir Mimin, tentunya ia tidak harus membeli telepon genggam berkamera ini. Raut mukanya berubah merah mengingat kejadian Jum’at kemarin. Mimin yang bertugas di lantai lima, satu lantai dengannya didatangi Agus. Agus yang notabene tau bahwa ia naksir Mimin, tanpa rasa bersalah berfoto berdua dengan Mimin di depan matanya dalam pantry. Seketika itu juga hatinya panas. Apalagi waktu Mimin mengungkapkan keinginannya untuk foto di taman Blok M dengan kamera dari telepon genggam. Langsung saja Sunarto menawarkan diri.

“Min, sama aku aja. Aku juga punya HP kayak gitu. Gambarnya lebih bagus malah” sambil menunjuk ke telepon genggam milik Agus.

“Oh ya mas? Kok masih pakai HP yang segede bagong itu?” tanya Mimin antusias
“Alaah, orang miskin kayak loe, gak mungkin punya HP kayak gue. Mana buktiin?” tantang Agus.
“Min, mas gak mau pamer. Mas itu orangnya, mmm… kalau kata pak Irsan low profile. Gak sombong walaupun ganteng. Makanya minggu besok kita foto-foto di taman Blok M. Jam 4 kita ketemu disana ya. Jangan lupa dandan yang cantik supaya bisa ngimbangin mas yang ganteng ini” Ujar Sunarto dengan kedipan mata dan senyum nakal ke arah Mimin.

“Oke, awas lo ya kalau hari minggu gak datang. Ndeso aja belagu” rutuk Agus yang melangkah pergi meninggalkan Mimin dan Sunarto di Pantry lantai lima.

“Maaf ya, Hpku terlarang buat foto orang yang gak ganteng. Lagian siapa yang ngajak kamu, capeek deh” celetuk Sunarto yang diikuti derai tawa dari Mimin.

“Permisi Pak, Bu, Mbak, Mas dan semua penumpang bis kota. Saya numpang ngamen buat biaya ibu saya yang sakit”

Suara nyaring pengamen kecil yang sudah berdiri disamping Sunarto membuyarkan lamunan. Bau matahari yang menyelimutinya menusuk ke hidung Sunarto. Rambutnya pirang, bukan karena di bleaching tapi terbakar matahari, tampak kering dan kusam. Ia memakai kaos kuning berlambang sebuah partai yang sudah tampak tua, lusuh dan kebesaran. Celana merahnya sudah sobek di pinggirnya pasti seragam sekolah. Kakinya coklat kelam dan telanjang, mengikuti warna kulitnya.

Tangannya yanng kurus menggenggam kecrekan yang terbuat dari sepotong kayu dan tutup bekas botol minuman, ia melantunkan lagu cinta yang sedang populer. Meskipun suara pengamen nyaring dan tidak sama dengan nada kecrekan, Sunarto tetap menikmati syair-syair cinta yang didendangkan. Telepon genggamnya masih terus di dalam kepalan tangannya dikantong celana.

Bis sedang berhenti di halte, mencari penumpang tambahan. Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar. Ia segera menarik dari kantong celana. Sebuah pesan datang.

“Pasti Mimin” batinnya senang.

Dibukanya pesan dari Mimin, belum sempat ia melihat isinya, bocah kecil pengamen yang berdiri di sebelahnya langsung merampas telepon genggam milik Sunarto. Kaki kecilnya selincah kijang menuruni bis dan mengambil seribu langkah. Sunarto tak kalah cepat, segera mengejar pengamen cilik sambil teriak copet. Namun tak satupun yang menghiraukan teriakan dari kerongkongannya.

Pengamen kecil tadi terus berlari melewati angkuhnya gedung-gedung tinggi. Larinya semakin cepat begitu tau Sunarto mengejarnya. Sesekali pengamen kecil melompat menghindari trotoar yang rusak. Sunarto terus mengejarnya, demi telepon genggamnya yang berkamera. Demi wajah Mimin.

Orang-orang yang dilewatinya hanya bengong tak berkata apa-apa melihat keduanya. Sunarto terus berteriak, namun tampaknya tak ada orang yang percaya.

Kini pengamen kecil membelok ke belakang gedung menuju perkampungan penduduk yang padat. Kakinya tampak akrab mencumbui aspal bercampur tanah. Sunarto tak terasa lelah. Ia mengeluarkan kemampuannya. Jalan terjal berbukit sudah menjadi kebiasaannya ketika bersekolah di desa. Jalan aspal bercampur tanah di kampung Jakarta bukan tandingannya.
Mata Sunarto tetap fokus pada sosok bocah kecil pengamen yang membawa lari telepon genggamnya. Ia tak mau kehilangan segalanya. Kehilangan hidup dan masa depannya. tetesan peluhnya membasahi seluruh wajahnya. Kaos birunya basah.

Pengamen kecil saat ini berlari mengikuti rel kereta api jurusan Senen-Bekasi dan deretan rumah kardus dipinggirnya. Ia sudah tampak lelah dan layu. Sesekali kakinya kecil kesakitan menahan kerikil yang menusuk. Jejak keringatnya membekas di tanah. Tampaknya pengamen itu sudah mau menyerah. Sunarto terus mendekati larinya yang mulai payah.

Tak lama pengamen kecil menghilang ke dalam rumah kardus beratap triplek bekas. Sunarto terus mengikuti ke dalam. Sunarto terpaku di pintu. Rumah kardus itu hanya berukuran dua kali tiga meter. Tak punya jendela dan hanya punya satu ruangan. Tak ada perabotan di sana, hanya sebuah kardus yang berisi pakaian yang tampak lusuh. Di dekatnya ada bungkusan bekas nasi. Di pojok kanan dekat pintu ia lihat pengamen tadi berjongkok ketakutan. Di sebelahnya, terbaring lemah seorang perempuan berwajah pucat. Kedua dahinya ditempel koyo. Rambutnya berantakan, matanya merah. Sarung tipis menutupi hampir seluruh tubuhnya yang gemetar.

“Kenapa le, kamu nyopet lagi ya?” kata wanita itu setengah emosi dan suara gemetar.

“Mak, Tole Cuma mau bantuin Emak. Supaya Emak bisa diobatin” katanya terisak sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya.

“Tapi Le, caranya bukan seperti ini. Kita memang miskin Le, tapi kita gak boleh mencopet. Gusti Allah pasti marah sama kamu, sama Emak dan Bapak” dengan muka memerah dan suara yang parau.

“Sekarang kembalikan barang yang kamu copet ke bapak itu, lekas le!” perintah Emaknya dari atas kasur tipis.

Sunarto masih menyaksikan adegan tadi tanpa berkata apa-apa. Perintah Emaknya menggerakkan kaki Tole. Diserahkan telepon genggam yang sejak tadi pindah ke tangan Tole. Ia berlari kencang meninggalkan Sunarto, Emak dan rumah gubuknya.

“Nak, saya minta maaf” katanya lirih. Sunarto melihat genangan air di sana. Di balik matanya yang merah.

“Gak apa Bu, namanya anak kecil. Saya yakin, Tole bukan anak yang nakal. Dia hanya belum tau bagaimana cara yang benar” sambil merogoh uang lembaran lima puluhan ribu dari dompet.

“Bu, saya pamit. Semoga cepat sembuh” Sunarto menyalami Emaknya Tole dan menyelipkan lembar lima puluh ribuan terakhir miliknya.

“Terima kasih nak, semoga Gusti Allah memberi balasan yang lebih besar” kini ia air matanya meleleh menahan haru.

Sunarto berjalan disepanjang rel kereta api jurusan Senen-Bekasi. Jejeran rumah kardus ikut mengikuti langkahnya. Rona jingga dari batas cakrawala menari-nari di pelupuk matanya yang hangat. Ingatannya tertuju pada Biyung di desa.

Dirogohnya kantung celananya, sekarang tinggal selembar uang lima ribu rupiah dan dua lembar seribu rupiah. Padahal perutnya sudah berontak dan bayangan Mimin bermain di benaknya.
pud

Tidak ada komentar: